Sabtu, 24 Mei 2008

Berkotek

Tek, kotek, kotek ...
Ada menteri tukang ngobyek ...

Selantang apapun mahasiswa berteriak, mereka yang di "kursi empuk" itu tidak akan mendengarkan. Entah budek, entah khilaf, mereka itu tidak pernah ngeh dengan kata-kata pedas itu.

Mau apa demo? "Membuat" revolusi terjadi? Haha. Gile aja. Revolusi itu gak bisa "dibuat-buat", Bos. Revolusi itu adalah akibat tertentu dan tak terhindarkan yang timbul dari pertentangan sosial yang semakin hari semakin tajam. Jadi, sabar saja. Sepertinya negara ini sedang menuju ke arah sana.

Blok, goblok, goblok ...
Kita ganyang menteri goblok ...

Lihat saja sekarang di kota-kota. Sebanyak orang yang demonstrasi menyuarakan protes terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak, sebanyak itu pula orang-orang kaya berkeliaran di jalanan memakai Mercy, BMW, Porsche, Ferrari, dan mobil mewah lainnya. Mereka itu sama sekali tidak peka. Ya, tetap sajalah seperti itu; revolusi akan segera datang.

Tek, kotek, kotek ...
Ada menteri tukang ngobyek ...

Haha. Demonstrasi mahasiswa cuma bawa massa seribu orang? Mending tidak usah saja, deh. Buang-buang waktu, buang-buang tenaga. Ujung-ujungnya dihalau polisi pakai gas air mata. Kalau mau, organisasikan seluruh kekuatan! Lha, biasa kerjanya cuma bikin acara seminar mau sok-sokan mengorganisasi demo. Malu sama semut!

Blok, goblok, goblok ...
Kita ganyang menteri goblok ...

Kamis, 22 Mei 2008

"Lampu Merah" Tidak Untuk Pejalan Kaki

Crazy, crazy, crazy. Aparatur pemerintah yang kurang suka baca buku itu mungkin mengira Nabi Adam begitu turun ke bumi langsung jalan-jalan pakai Ferrari. Mereka mungkin mengira peradaban manusia tidak pernah mengenal sebuah zaman yang pada waktu itu semua manusia ke mana-mana berjalan kaki.

Kenapa aku menulis seperti di atas? Sudah lama aku mengamati lampu lalu lintas di perempatan, pertigaan, atau perlimaan. Dari pengamatan yang lama itu aku dapat menyimpulkan bahwa "lampu merah" itu hanya berguna untuk pengendara saja.

Pejalan kaki seolah tidak diberi waktu untuk menyebrang karena tidak ada jeda antara pergantian merah-hijau masing-masing lajur. Huh! Seringkali aku melihat di "lampu merah" banyak orang yang tergesa-gesa berlari karena takut ditabrak. Dan tololnya, banyak sekali pengendara yang "pongah" dan tidak mau mendahulukan pejalan kaki. Sungguh malang nasib pejalan kaki di Indonesia. Crazy, crazy, crazy.

Sabtu, 17 Mei 2008

Seharusnya

Seharusnya mahasiswa universitas ternama itu mempunyai kesadaran sosial dan lingkungan yang tinggi. Harusnya mereka tahu bagaimana cara bersikap.

Sudah tahu suhu bumi semakin meningkat masih saja mereka ngotot untuk membawa motor masing-masing ke kuliah. Padahal mereka jelas tahu bahwa kotoran yang mereka muntahkan dari knalpot motor itu merusak lapisan pelindung bumi, ozon. Aku hanya bisa tertawa-tertawa sendiri ketika berjalan lewat Fakultas Biologi. Sebagian besar mereka bawa motor. Gengsi naik bis kota butut?

Mahasiswa universitas terkenal itu harusnya tahu bahwa pejalan kaki harus menghormati orang yang duduk, pengendara sepeda harus menghormati pejalan kaki, pengendara motor harus mendahulukan pemakai sepeda, dan sopir harus menghargai pengendara motor. Tapi mereka, entah karena mengurus SIM lewat belakang atau bagaimana, seolah-olah tidak mengerti etika seperti itu. Tetap saja masih sering ditemukan di Bundaran pejalan kaki yang lari sekencang-kencangnya sewaktu menyeberang, takut ditabrak motor dan mobil yang pengendaranya seolah-olah tidak mengerti fungsi rem.

Minggu, 11 Mei 2008

Perdana

... Yang diperlukan hanyalah mengejar tujuan dengan ulet, dan setelah itu berhasil.
Meskipun di Mading kamar aku menempel kata-kata Tolstoy itu, aku belum sanggup menerapkannya. Entah kenapa. Mungkin kurang keras aku berusaha. Tapi untuk sebuah awal tak apalah: lebih baik menempelnya dulu daripada tidak melakukan sesuatu sama sekali.
Besok katanya teman-teman mahasiswa mau demonstrasi besar-besaran. Tapi untuk apa? Aku sendiri bingung. Cukuplah untuk sebuah awal.